Sunda Kelapa adalah nama sebuah
pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta (dahulu Jayakarta), di Indonesia. Pelabuhan
Sunda Kelapa antara abad ke-12 sampai awal abad ke-16 merupakan pelabuhan utama
dan sangat ramai di Kerajaan Hindu Sunda. Pada saat
itu Kalapa, nama aslinya, merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda yang beribukota di
Pakuan
(sekarang kota Bogor)
yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta
baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih
awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya
dari Sumatera.
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para
penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Salah satu
penjelajah Eropa tersebut adalah Bangsa Portugis. Bangsa Portugis berlayar ke
Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di
Semenanjung Malaka. Portugis pun menjadikan Malaka sebagai basis untuk
penjelajahan lebih lanjut di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada ketiga
dasawarsa pertama abad ke-16, jaringan pedagang Gujarat dari India meliputi
semua pelabuhan di Sumatera dan di pantai utara Jawa. Gujarat bersekutu dengan
Mesir, Turki serta penguasa bandar-bandar di India dan Asia Tenggara melawan
Portugis. Hal itu disebabkan karena Portugis mengalihkan perniagaan dari India
Utara ke Goa dan dari kota tersebut langsung ke Eropa Barat.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, telah mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia
mendeskripsikan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa sangat ramai. Pelabuhan tersebut disinggahi
pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatera, Malaka, Sulawesi
Selatan, Jawa, dan Madura. Menurut laporan Tome Pires itu, di Sunda Kelapa
banyak diperdagangkan hasil bumi seperti beras, asam, lada, sayuran serta
buah-buahan. Selain itu, adapula perdagangan barang pecah belah, hewan potong,
dan perhiasan seperti emas dan perak.
Laporan itu juga menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur
sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit di
kedua tepi sungai Ciliwung. Pelabuhan tersebut ada di dekat muaranya yang
terletak di teluk yang dilindungi oleh beberapa buah pulau di sekitarnya.
Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing
memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh
orang-orang Melayu, Jepang, dan Tionghoa. Selain itu, ada pula kapal-kapal dari
daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu, barang-barang
komoditas dagang Sunda diangkut dengan menggunakan lanchara, yakni
semacam kapal yang muatannya bisa mencapai sekitar 150 ton. Sedangkan, kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500—1.000 ton harus
berlabuh di depan pantai.
Kemudian, Bangsa Portugis
di Malaka mulai menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda
untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, pada tahun 1512. Perjanjian
dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk
dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu
lagi untuk raja Portugal. Dengan perjanjian tersebut, maka Portugis dibolehkan
membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa. Gubernur
Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di
Malaka mengutus Henrique Leme pada tahun yang sama untuk menghadiri undangan
raja Sunda guna membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa. Benteng tersebut
nantinya dirancang untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif
dan bekerja sama dengan Kerajaan Demak. Sementara itu, kerajaan Demak pun sudah
menjadi pusat kekuatan politik Islam terkuat di Pulau Jawa.
Perjanjian tahun 1522 itu menyebutkan bahwa
orang Portugis akan membuat loji, yakni semacam perkantoran dan perumahan yang
dilengkapi benteng, di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima
barang-barang dan senjata yang diperlukan untuk menahan serangan Cirebon dan
Demak. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang
lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ
dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakyat
Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan
kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat
(Jalan Nelayan Timur) di Jakarta. Kini, Padrao tersebut diletakkan di Ruang
Sejarah di Museum Nasional bersandingan dengan Padrao Lonthoir dari Maluku.
Dua tahun setelah perjanjian, suatu armada pasukan
Portugis diutus lagi ke Sunda Kalapa, tetapi tidak sampai tujuannya karena awak
kapal memberontak dan menceraiberaikan pasukan tersebut.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan
Sunda-Portugal tersebut merupakan sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Kemudian,
Sultan Demak
menugaskan Fatahillah
untuk mengamankan dan merebut Sunda Kalapa dari Portugis. Fatahillah, panglima
pasukan dari Cirebon, yang bersekutu dengan Demak mendatangi dan menduduki
Sunda Kelapa tahun 1526. Ia membawa pasukan sebanyak 1.452 orang tentara.
Salah satu kapal brigantin
dari armada Portugis di bawah pimpinan Francesco de Sa, yang terpisah dari
armada induknya akibat serangan badai dan terhempas ke pantai Sunda kalapa pada
akhir tahun 1526. Kapal Brigantin adalah kapal berlayar dua. Kapten kapal naas
itu, Duarte Coelho, belum mengetahui bahwa Kalapa baru saja berganti penguasa.
Maka, saat turun dari kapal dan menginjak pantai, para pelaut Portugis tersebut
tiba-tiba diserang, dikalahkan dan tiga puluh awak kapal dibunuh oleh pasukan
Cirebon-Demak yang sudah meduduki Sunda Kalapa terlebih dahulu. Akan tetapi,
Coelho berhasil meloloskan kapalnya dan berlayar kembali ke Malaka.
Menurut beberapa ahli sejarah, keberhasilan pasukan
Cirebon—Demak yang dipimpin Fatahillah pada 1526 menjadi alasan untuk mengganti
nama Sunda Kalapa dengan Jayakarta, yang berarti ‘Kemenangan Besar.’ Teori Dr.
Soekanto menyatakan bahwa Jakarta menetapkan perayaan ulang tahunnya pada
setiap tanggal 22 Juni (sejak 1527), oleh karena pada hari itu—menurut Dr.
Soekanto—Fatahillah memberi nama baru kepada Sunda Kalapa menjadi Jayakarta
karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis.
Kepustakaan:
SJ, Adolf Heuken. 1997. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta : Cipta Loka Caraka.
Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis:
Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450—1680. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Kelapa,
diunduh 10 Januari 2012.