Jumat, 06 Juni 2014

Kisah Tragis Portugis di Sunda Kelapa



Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta (dahulu Jayakarta), di Indonesia. Pelabuhan Sunda Kelapa antara abad ke-12 sampai awal abad ke-16 merupakan pelabuhan utama dan sangat ramai di Kerajaan Hindu Sunda. Pada saat itu Kalapa, nama aslinya, merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan (sekarang kota Bogor) yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera.
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Salah satu penjelajah Eropa tersebut adalah Bangsa Portugis. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Portugis pun menjadikan Malaka sebagai basis untuk penjelajahan lebih lanjut di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada ketiga dasawarsa pertama abad ke-16, jaringan pedagang Gujarat dari India meliputi semua pelabuhan di Sumatera dan di pantai utara Jawa. Gujarat bersekutu dengan Mesir, Turki serta penguasa bandar-bandar di India dan Asia Tenggara melawan Portugis. Hal itu disebabkan karena Portugis mengalihkan perniagaan dari India Utara ke Goa dan dari kota tersebut langsung ke Eropa Barat.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia mendeskripsikan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa sangat ramai. Pelabuhan tersebut disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatera, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa, dan Madura. Menurut laporan Tome Pires itu, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan hasil bumi seperti beras, asam, lada, sayuran serta buah-buahan. Selain itu, adapula perdagangan barang pecah belah, hewan potong, dan perhiasan seperti emas dan perak.
Laporan itu juga menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit di kedua tepi sungai Ciliwung. Pelabuhan tersebut ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang dilindungi oleh beberapa buah pulau di sekitarnya. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang, dan Tionghoa. Selain itu, ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu, barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan menggunakan lanchara, yakni semacam kapal yang muatannya bisa mencapai sekitar 150 ton. Sedangkan, kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500—1.000 ton harus berlabuh di depan pantai.
Kemudian, Bangsa Portugis di Malaka mulai menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, pada tahun 1512. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Dengan perjanjian tersebut, maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa. Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme pada tahun yang sama untuk menghadiri undangan raja Sunda guna membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa. Benteng tersebut nantinya dirancang untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif dan bekerja sama dengan Kerajaan Demak. Sementara itu, kerajaan Demak pun sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam terkuat di Pulau Jawa.
Perjanjian tahun 1522 itu menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji, yakni semacam perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng, di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang dan senjata yang diperlukan untuk menahan serangan Cirebon dan Demak. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakyat Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta. Kini, Padrao tersebut diletakkan di Ruang Sejarah di Museum Nasional bersandingan dengan Padrao Lonthoir dari Maluku.
Dua tahun setelah perjanjian, suatu armada pasukan Portugis diutus lagi ke Sunda Kalapa, tetapi tidak sampai tujuannya karena awak kapal memberontak dan menceraiberaikan pasukan tersebut.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut merupakan sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Kemudian, Sultan Demak menugaskan Fatahillah untuk mengamankan dan merebut Sunda Kalapa dari Portugis. Fatahillah, panglima pasukan dari Cirebon, yang bersekutu dengan Demak mendatangi dan menduduki Sunda Kelapa tahun 1526. Ia membawa pasukan sebanyak 1.452 orang tentara.
Salah satu kapal brigantin dari armada Portugis di bawah pimpinan Francesco de Sa, yang terpisah dari armada induknya akibat serangan badai dan terhempas ke pantai Sunda kalapa pada akhir tahun 1526. Kapal Brigantin adalah kapal berlayar dua. Kapten kapal naas itu, Duarte Coelho, belum mengetahui bahwa Kalapa baru saja berganti penguasa. Maka, saat turun dari kapal dan menginjak pantai, para pelaut Portugis tersebut tiba-tiba diserang, dikalahkan dan tiga puluh awak kapal dibunuh oleh pasukan Cirebon-Demak yang sudah meduduki Sunda Kalapa terlebih dahulu. Akan tetapi, Coelho berhasil meloloskan kapalnya dan berlayar kembali ke Malaka.
Menurut beberapa ahli sejarah, keberhasilan pasukan Cirebon—Demak yang dipimpin Fatahillah pada 1526 menjadi alasan untuk mengganti nama Sunda Kalapa dengan Jayakarta, yang berarti ‘Kemenangan Besar.’ Teori Dr. Soekanto menyatakan bahwa Jakarta menetapkan perayaan ulang tahunnya pada setiap tanggal 22 Juni (sejak 1527), oleh karena pada hari itu—menurut Dr. Soekanto—Fatahillah memberi nama baru kepada Sunda Kalapa menjadi Jayakarta karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis.

Kepustakaan:
SJ, Adolf Heuken. 1997. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta : Cipta Loka Caraka.
Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450—1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Kelapa, diunduh 10 Januari 2012.  

Pentingnya Keluarga dalam membangun Masyarakat dan Problematikanya Keluarga merupakan lingkungan awal dan utama dalam pelaksanaan proses sos...