Kamis, 14 Juli 2022

Pentingnya Keluarga dalam membangun Masyarakat dan Problematikanya

Keluarga merupakan lingkungan awal dan utama dalam pelaksanaan proses sosialisasi sosok pribadi manusia. Sosok-sosok pribadi yang berkumpul membentuk suatu kumpulan manusia yang biasa disebut masyarakat. Kehidupan masyarakat yang terdiri dari aneka ragam sosok pribadi dengan latar belakang keluarga berbeda tentu menghadirkan berbagai problematika.

Keluarga yang berjalan di era saat ini, permasalahan yang dialami semakin berat dan penat. Kegiatan yang dijalankan oleh orang tua dan anak  terpisah. Kehidupan di dunia luar semakin riuh dan menjadi godaan yang menjadi pengaruh untuk pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi di dalam keluarga. Bahkan, persoalan yang terjadi di dalam rumah tangga pun sering ditampilkan dalam acara televisi (baik bentuk berita maupun drama sinetron), bermula pada konflik kecil hingga besar, bermula dari pertengkaran hingga perceraian. Seolah tak ada berita keluarga yang harmonis yang pantas untuk diteladani oleh penonton.

Permasalahan keluarga dalam masyarakat kontemporer ini yang sering terjadi, yakni terkait komunikasi. Ruang lingkup keluarga, antara orang tua dan anak bisa terjadi adanya perbedaan pandangan yang sangat kontras, orang tua lebih cenderung konservatif dan anak lebih cenderung futuristik. Contoh: Banyaknya keluhan anak terhadap berita hoaks yang sering kali tersebar dalam WhatsApp Group. Pada kasus tersebut, anak di depan orang lain dapat memberitahukan informasi ‘mencerahkan’. Namun, bingung untuk menghadapi kondisi informasi yang terjadi dari orang tua mereka terhadap berita hoaks tersebut.

Problematik yang dialami itu kenyataannya anak memilih diam dan bukan meluruskan yang benar. Dengan alasan; tidak enak, takut melawan orang tua, tidak sopan, durhaka, dan sebagainya. Solusi yang didapatkan untuk mengatasinya yaitu menggunakan komunikasi secara langsung kepada orang tua dengan penuh kehati-hatian dan menggunakan bahasa yang lembut, bertutur kata yang baik, sopan dan santun. Maka dari itu, dapat menyelesaikan masalah ataupun kesalahpahaman yang terjadi. Selain itu, dengan terciptanya komunikasi yang efektif membuat orang tua dan anak untuk memahami harapan satu sama lain. 

Mengutip artikel yang ditulis oleh Jito Subianto (LPPG) yang berjudul PERAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BERKUALITAS dalam laman https://journal.iainkudus.ac.id menuliskan, 

Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib (RA), seorang sahabat utama Rasulullah Muhammad (SAW) menganjurkan: Ajaklah anak pada usia sejak lahir sampai tujuh tahun bermain, ajarkan anak peraturan atau adab ketika mereka berusia tujuh sampai empat belas tahun, pada usia empat belas sampai dua puluh satu tahun jadikanlah anak sebagai mitra orang tuanya. Ketika anak masuk ke sekolah mengikuti pendidikan formal, dasar-dasar karakter ini sudah terbentuk. Anak yang sudah memiliki watak yang baik biasanya memiliki achievement motivation yang lebih tinggi karena perpaduan antara intelligence quotient, emosional quotient dan spiritual quotient sudah terformat dengan baik. 

Peran orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain: 

1. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya,

2. Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak, 

3. Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak, 

4. Mewujudkan kepercayaan,

5. Mengadakan kumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak). 

Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak yang secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. 

Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari (ummah) bangsa; dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan (ummah wahidah) bangsa yang satu dan (ummah wasath) bangsa yang moderat, sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah warahmah. 

Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri.

Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh.

Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. 

Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.

Jumat, 11 Agustus 2017

Valuation Object (VO) disadur dari Materi pp Bpk. Marsis Sutopo

Kebudayaan merupakan Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar


WUJUD KEBUDAYAAN
8 Ide gagasan, nilai, norma
8 Aktivitas, tindakan

8 Benda hasil karya manusia

Unsur-unsur Kebudayaan
1. Religi,
2. Pengetahuan,
3. Teknologi,
4. Mata Pencaharian,
5. Organisasi Sosial,
6. Kesenian,
7. Bahasa,
8. Kuliner,
9. Style/ Mode

Regulasi Cagar Budaya
1. MO No. 19 / 1931,
2. MO No. 21 / 1934,
3. UU No.2 / 1992
4. UU No. 11 / 2010 tentang Cagar Budaya disahkan 24 Nopember tahun 2010, http://www.unesco.org/culture/natlaws/media/pdf/indonesie/ind_act11_10_clther_indorof

Definisi Cagar Budaya
(Pasal 1) UU No.11 Thn 2010
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Pelestarian  …
Upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya
(UU CB Pasal 1 angka 22)

Tujuan Pelestarian Cagar Budaya    
(Pasal 3)
a. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia
b. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya
c.Memperkuat kepribadian bangsa
d.Meningkatkan kesejahteraan rakyat 
e.Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional


    LINGKUP PELESTARIAN(Pasal 4)
1.Pelindungan,
2.Pengembangan, dan
3. Pemanfaatan.

Valuasi Cagar Budaya

Penilaian atau upaya kuantifikasi Cagar Budaya ke dalam nilai uang

Konsekuensi Nilai Cagar Budaya
*Definisi “nilai” Cagar Budaya
*CB tidak diperdagangkan di pasar komersial (private)
*Eksternalitas kegiatan dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) CB secara tidak diinginkan (dampak negatif/positif)

PP RI No.66 Tahun2015 Tentang Museum

KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA INDONESIA TAHUN 2013

Kamis, 10 Agustus 2017

Meriam Mangkunegoro

Perunggu
Solo
Berangka Tahun 1727
P. 54 cm, D. 8 cm, K. 2 cm

Diperoleh tahun 1983
Koleksi Museum Nasional Indonesia

Deskripsi fisik:
Bentuk meriam ini bumbung. Terdiri dari bagian pangkal, tengah, dan ujung. Pada bagian pangkal terdapat bonggol, lubang pengapian, dan pegangan berbentuk kuda laut. Bonggol berbentuk seperti jamur merang. Pangkal dengan hiasan kelopak daun empat lembar dan tiga buah gelang menjadi satu. Diatas lubang meriam tertulis Anno 1727 diapit gelang      yang sama. Bagian tengah tedapat sebuah lambang berbentuk bulat telur, di dalamnya terdapat simbol bendera-bendera,senjata-senjata dan perisai dua buah dalam bentuk ikan dan tiga buah gelang. Bagian ujung batang dengan hiasan daun bunga. Moncong bulat dengan sulut sebuah gelang seperti pola pada meriam yang lain.

Fungsi Koleksi :
Meriam dengan ukuran kecil ini biasanya digunakan untuk upacara atau pemberian mas kawin. Dalam istana kerajaan atau kesultanan, biasanya dibunyikan pada saat upacara seperti pengangkatan atau penggantian seorang raja dan menerima tamu agung Istana.

Uraian Koleksi :

Meriam adalah senjata untuk menembak jarak jauh. Pada mulanya, meriam dibuat dari lempengan-lempengan besi yang disusun dan diikat. Dalam perkembangan selanjutnya, meriam dibuat dengan menggunakan teknik cor logam.

Selain sebagai senapan, meriam termasuk jenis senajata api yang menggunakan serbuk mesiu. Meriam pada masa itu merupakan peralatan perang yang utama yang digunakan di kapal laut, benteng, maupun pada saat pertempuran di darat. Meriam menjadi senjata andalan bangsa Eropa. Oleh karena itu, ekspedisi-ekspedisi bangsa Eropa senantiasa dilengkapi dengan senjata tersebut. Contohnya, kapal “Holandia” dan “Mautius” yang merupakan armada ekspedisi Cornelis de Houtman yang membawa 20 buah meriam (Hanna, 1988: 9).
Kekuatan angkatan perang bangsa Eropa yang ditunjang oleh peralatan perang yang memadai, seperti meriam, menyebabkan raja-raja di Indonesia berusaha untuk memiliki berbagai jenis meriam. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mempertahankan wilayahnya dari penguasaan bangsa asing.
Meriam-meriam itu diperoleh dengan cara membeli dari negara-negara pembuat meriam, dari hasil rampasan perang, dan dengan membuat sendiri. Mulai abad ke-17 dan sesudahnya, meriam telah dibuat di Indonesia. Daerah pembuatan meriam tersebut, yakni Jepara dan Surakarta. Kepandaian membuat meriam diperoleh dari bangsa Portugis. Ketika terjadi perselisihan antara VOC dengan raja-raja di Indonesia, mereka meminta bantuan senjata kepada Portugis. Portugis tidak hanya membantu menyediakan persenjataan, melainkan juga mengajarkan cara mengecor logam untuk dijadikan senjata, meriam.
Meriam Mangkunegoro ini berukuran kecil panjangnya 54 cm dengan kaliber 2 cm. Bentuk meriam semacam itu dinamakan meriam lela, yang biasanya digunakan untuk upacara dan melamar calon pengantin (meriam digunakan sebagai mas kawin); dan kematian seorang terkenal, dsb.

Ragam hias binatang biasanya menggunakan hiasan binatang yang mengandung arti atau melambangkan kekeuatan magis tertentu. Misalnya bentuk singa, naga, kuda laut, buaya dan lain-lain. Dengan menggunakan hiasan singa, naga ataupun buaya dimaksudkan agar senjata tersebut mempunyai kekuatan seperti binatang-binatang itu dan dapat menang dalam menghadapi lawan. Menurut Welken, binatang-binatang besar artinya dalam kepercayaan rakyat tidak saja di Indonesia tetapi juga di kepulauan-kepulauan yang lain di lautan Teduh Selatan maupun daerah-daerah lainnya.

Pemakaian hiasan binatang ini misalnya ditemukan pada tangkai atau pegangan meriam yang dibuat dan dibentuk seperti naga ataupun kuda laut. Gambar-gambar binatang lainnya diukir pada bagian pangkal ataupun tengah meriam. Beberapa diantaranya ada pula meriam yang secara keseluruhan dibuat dalam bentuktiruan seekor ular naga dengan hiasan yang sangat menarik. Meriam semacam ini digunakan untuk upacara ataupun pemberian mas kawin.

Mata Uang Banten


Masyarakat Banten, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah Serang dan sekitarnya menyebut Uang dengan kata Picis, sering kita mendengar mereka bilang “ weh lagi ore due picis kien” “utang picis kuh..” dsb.. bukan tanpa sebab, berikut asal mula kata Picis
berasal.

Berdasarkan hasil penelitian arkeologi tahun 1976 yang menemukan beberapa mata uang berbahan timah tipis yang dapat diidentifikasikan sebagai mata-uang logam yang bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa "Pangeran Ratu ing Banten" adalah mata uang yang dikeluarkan oleh Sultan Banten.

Hal tersebut mengacu pada simbol dan gelar bagi Sultan Banten diantaranya Maulana Muhammad yang bergelar Pangeran Ratu ing Banten yang memerintah Kesultanan Banten pada tahun 1580 sampai dengan tahun 1596. Menurut Willem Lodewyksz, pada tahun 1596 ada tiga buah pasar yang ada di Banten berfungsi sebagai pusat perdagangan lokal dan perdagangan internasional yang sangat pesat. Di antara para pedagang asing yang datang di Banten ialah orang-orang Cina, menyusul pedagang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis. Mereka membawa barang dagangan yang terdiri dari pakaian tenun yang biasa dibawa oleh pedagang Eropa lainnya (Tjandrasasmita, 1976:227).

Mata uang logam Cina yang pernah ditemukan de Houtman dan Kaizer adalah berupa uang tembaga yang disebut caixe, yang telah beredar di Banten (van Lischoten, 1910:78). Peranan mata uang picis, real dan uang chi'en yang terbuat dari tembaga, ternyata uang chi'en-lah yang lebih tinggi harganya di Banten, jika dibandingkan dengan mata uang lainnya (Rouffer, 1915:122). Mata uang Cina sebagai mata uang asing masuk pertama kali di Banten yakni pada tahun 1590, saat mana raja Cina, Hammion, membuka kembali peredaran mata uang Cina di luar negeri setelah dua puluh tahun menutup kemungkinan karena khawatir akan adanya inflasi di negaranya.

Untuk memberikan gambaran nilai sebuah mata uang, kami uraikan sebagai berikut:
Harga uang picis dapat kita lihat dalam perbandingan:
1 atak = 200 picis 1 bungkus = 10000 picis
1 peku = 1000 picis 1 keti = 100000 picis.

Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah jika dibanding harga mata uang logam lainnya (van Ansooy, 1979:37). Sebagai contoh dalam menentukan harga dari seorang budak per hari dapat disewa dan harus setor pada majikannya sebesar 1000 picis (1 peku), berikut makan 200 picis. Harga makanan untuk orang Barat per hari menghabiskan rata-rata 1 atak (Fruin Mees, 1920:44). Di Banten bagi seorang yang berani membunuh pencuri akan mendapat hadiah dari Sultan sebesar 8 peku (Keuning, 1938:888). Adapun harga seekor ayam di Mataram pada tahun 1625 rata-rata 1 peku (Macleod, 1927:289). Menurut orang Cina di Banten, dari hasil pembelian 8 karung lada dari pengunungan seharga 1 keti dan dijualnya ke pasar Karangantu seharga 4 keti, kejadian tersebut tercatat pada tahun 1596 (Commelin, 1646:76).

Harga pasaran tidak selalu stabil seperti yang diharapkan, permasalahannya ialah akibat nilai harga picis yang sulit untuk bertahan lama. Seperti terjadi pada tahun 1613, ada perubahan nilai pecco yang secara drastis terpaksa harus turun, tercatat 34 dan 35 peccoes = 1 real; ini berarti pula pengaruh uang asing yang masuk ke Banten dapat mempengaruhi stabilitas pasar di Karangantu saat itu.

Pada tahun 1618, J.P. Coen merasa tidak senang dengan turunnya nilai mata uang picis di Jawa, bahkan tercatat sejak tahun 1596 di Sumatra pun telah mengalami kemerosotan nilai tukar uang picis sampai dengan 1 : 8,500 (Mollema, 1935:211). Rupanya percaturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari kehadiran beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang pada saat itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari Jambi untuk di perjualbelikan di Banten (F. van Anrooy, 1979:40). Variabilitas jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi, memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang (kertas, logam, atau lainnya), memberikan informasi mengenai satuan nilai mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam, nilai intriksiknya adalah pada nilai logamnya (tembaga, timah, perak, suasa atau emas). Kegunaan penemuan mata uang pada berbagai situs, secara arkeologis dapat membantu 
(1) kronologi situs, 
(2) jenis mata uang yang berlaku, 
(3) batas-batas peredaran mata uang yang dimaksud, serta 
(4) satuan nilai yang ditetapkan.

Penelitian dan penggalian di Banten, ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata uang logam 
1. Banten, 
2. Belanda, 
3. Inggris, dan 
4. Cina. 

Mata uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm, terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan 242 keping uang Banten. Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie. Mata uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 - 1816. Dari lubang- lubang ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC (Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi. Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4 bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan. Dari lubang ekskavasi Surasowan ditemukan 6 keping mata uang Inggris.

Pada salah satu sisi mata uang Cina terdapat tulisan Cina yaitu: YUNG CHENG T'UNG PAO = Coinage of Stable Peace, yang berarti pembuatan mata uang untuk kestabilan dan perdamaian. Sedang pada tulisan sebaliknya diketahui sebagai huruf Manchu yang belum dapat dikenali artinya. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2,25-2,80 cm, tebal 0,10-0,18 cm dan diameter lubang 0,45-0,60 cm. Jenis ini ditemukan di lubang ekskavasi Surosowan sebanyak 25 keping. Penelitian sebaran mata uang logam di Banten diarahkan pada ruang-ruang di dalam dan di luar benteng. Dari 437 keping mata uang logam yang ditemukan di eksekavasi, 92 ditemukan di luar benteng dan 345 dari dalam benteng Surosowan. Homogenitas ruang penelitian (hanya di sekitar Surosowan), serta jumlah koleksi hasil penelitian yang sangat tidak seimbang dengan aktivitas ekonomi Banten sebagai pusat politik, ekonomi dan perdagangan, berdampak pada terbatasnya lingkup penafsiran dari kehadiran mata uang logam sebagai data arkeologi di Banten

Semua tulisan disadur dengan beberapa suntingan redaksional yang berasal dari :
Sumber: perpustakaanhalwany.blogspot.com

Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

   Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama merupakan salah satu unit teknis dari Seksi Pelestarian, Pengembangan dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama berada di Desa Banten, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.
A. Sejarah Singkat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia mulai melakukan penelitian di situs Banten Lama tahun 1976. Penelitian tersebut bersamaan dengan kegiatan pemugaran. Dalam kegiatan pemugaran, dibutuhkan pula bangunan yang berfungsi untuk menyelamatkan benda cagar budaya sebagai akibat dari semakin banyaknya pencurian, perusakan, dan penemuan benda cagar budaya oleh masyarakat. Semula, benda-benda cagar budaya bergerak (koleksi) hasil penggalian maupun sumbangan masyarakat di simpan dalam gedung asrama yang letaknya di selatan bangunan Tiyamah, selatan Masjid Agung Banten. Kegiatan penelitian kepurbakalaan yang semakin meningkat, menyebabkan makin kuatnya kebutuhan sebuah bangunan sebagai tempat penyimpanan hasil temuan yang sekaligus berfungsi sebagai pusat informasi mengenai situs Banten Lama. Jumlah benda cagar budaya bergerak yang semakin bertambah, baik yang berasal dari penemuan masyarakat maupun penelitian, akhirnya memerlukan sistem penataan pameran /display dan pembuatan label informasi pada masing-masing benda.
Dalam perkembangannya, pusat informasi tersebut akhirnya diubah fungsinya menjadi museum situs kepurbakalaan. Pembangunan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama (MSKBL) dilakukan sejak tahun 1983 oleh Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah TK.II Kabupaten Serang dan masyarakat Banten. MSKBL diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Harjati Soebadio pada tanggal 15 Juli 1985.

B. Luas Lahan dan Bangunan
Museum dibangun di atas tanah seluas 10.000 m2 dengan luas bangunan 778 m2.

C. Koleksi
Koleksi dipamerkan di dalam ruangan dan di luar ruangan.  Koleksi yang dipamerkan di museum ini terdiri dari benda-benda hasil penggalian dari situs-situs di Kawasan Banten Lama yang merupakan peninggalan Kerajaan Banten. Kelompok koleksi, yakni Mata Uang,  Keramik, Etnografi dan Arkeologi.
Ø Numismatik : Koin Banten, Koin VOC, Koin Cina, Uridab (Uang Kertas Darurat Daerah Banten).
Ø Keramik : Keramik Lokal (Gerabah), Keramik Asing (keramik-keramik dari luar nusantara seperti Cina, Jepang, dan Eropa)
Ø Etnografi: Kesenian Debus, Alat Rumah Tangga dan Perdagangan Berbahan Kuningan, Senjata-senjata
Ø Arkeologi : Arca Nandi, Batu-batu Nisan, dan Meriam Ki Amuk

Jumat, 06 Juni 2014

Kisah Tragis Portugis di Sunda Kelapa



Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta (dahulu Jayakarta), di Indonesia. Pelabuhan Sunda Kelapa antara abad ke-12 sampai awal abad ke-16 merupakan pelabuhan utama dan sangat ramai di Kerajaan Hindu Sunda. Pada saat itu Kalapa, nama aslinya, merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan (sekarang kota Bogor) yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera.
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Salah satu penjelajah Eropa tersebut adalah Bangsa Portugis. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Portugis pun menjadikan Malaka sebagai basis untuk penjelajahan lebih lanjut di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada ketiga dasawarsa pertama abad ke-16, jaringan pedagang Gujarat dari India meliputi semua pelabuhan di Sumatera dan di pantai utara Jawa. Gujarat bersekutu dengan Mesir, Turki serta penguasa bandar-bandar di India dan Asia Tenggara melawan Portugis. Hal itu disebabkan karena Portugis mengalihkan perniagaan dari India Utara ke Goa dan dari kota tersebut langsung ke Eropa Barat.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia mendeskripsikan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa sangat ramai. Pelabuhan tersebut disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatera, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa, dan Madura. Menurut laporan Tome Pires itu, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan hasil bumi seperti beras, asam, lada, sayuran serta buah-buahan. Selain itu, adapula perdagangan barang pecah belah, hewan potong, dan perhiasan seperti emas dan perak.
Laporan itu juga menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit di kedua tepi sungai Ciliwung. Pelabuhan tersebut ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang dilindungi oleh beberapa buah pulau di sekitarnya. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang, dan Tionghoa. Selain itu, ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu, barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan menggunakan lanchara, yakni semacam kapal yang muatannya bisa mencapai sekitar 150 ton. Sedangkan, kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500—1.000 ton harus berlabuh di depan pantai.
Kemudian, Bangsa Portugis di Malaka mulai menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, pada tahun 1512. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Dengan perjanjian tersebut, maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa. Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme pada tahun yang sama untuk menghadiri undangan raja Sunda guna membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa. Benteng tersebut nantinya dirancang untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif dan bekerja sama dengan Kerajaan Demak. Sementara itu, kerajaan Demak pun sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam terkuat di Pulau Jawa.
Perjanjian tahun 1522 itu menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji, yakni semacam perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng, di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang dan senjata yang diperlukan untuk menahan serangan Cirebon dan Demak. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakyat Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta. Kini, Padrao tersebut diletakkan di Ruang Sejarah di Museum Nasional bersandingan dengan Padrao Lonthoir dari Maluku.
Dua tahun setelah perjanjian, suatu armada pasukan Portugis diutus lagi ke Sunda Kalapa, tetapi tidak sampai tujuannya karena awak kapal memberontak dan menceraiberaikan pasukan tersebut.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut merupakan sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Kemudian, Sultan Demak menugaskan Fatahillah untuk mengamankan dan merebut Sunda Kalapa dari Portugis. Fatahillah, panglima pasukan dari Cirebon, yang bersekutu dengan Demak mendatangi dan menduduki Sunda Kelapa tahun 1526. Ia membawa pasukan sebanyak 1.452 orang tentara.
Salah satu kapal brigantin dari armada Portugis di bawah pimpinan Francesco de Sa, yang terpisah dari armada induknya akibat serangan badai dan terhempas ke pantai Sunda kalapa pada akhir tahun 1526. Kapal Brigantin adalah kapal berlayar dua. Kapten kapal naas itu, Duarte Coelho, belum mengetahui bahwa Kalapa baru saja berganti penguasa. Maka, saat turun dari kapal dan menginjak pantai, para pelaut Portugis tersebut tiba-tiba diserang, dikalahkan dan tiga puluh awak kapal dibunuh oleh pasukan Cirebon-Demak yang sudah meduduki Sunda Kalapa terlebih dahulu. Akan tetapi, Coelho berhasil meloloskan kapalnya dan berlayar kembali ke Malaka.
Menurut beberapa ahli sejarah, keberhasilan pasukan Cirebon—Demak yang dipimpin Fatahillah pada 1526 menjadi alasan untuk mengganti nama Sunda Kalapa dengan Jayakarta, yang berarti ‘Kemenangan Besar.’ Teori Dr. Soekanto menyatakan bahwa Jakarta menetapkan perayaan ulang tahunnya pada setiap tanggal 22 Juni (sejak 1527), oleh karena pada hari itu—menurut Dr. Soekanto—Fatahillah memberi nama baru kepada Sunda Kalapa menjadi Jayakarta karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis.

Kepustakaan:
SJ, Adolf Heuken. 1997. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta : Cipta Loka Caraka.
Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450—1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Kelapa, diunduh 10 Januari 2012.  

Pentingnya Keluarga dalam membangun Masyarakat dan Problematikanya Keluarga merupakan lingkungan awal dan utama dalam pelaksanaan proses sos...