Jumat, 11 Agustus 2017

Valuation Object (VO) disadur dari Materi pp Bpk. Marsis Sutopo

Kebudayaan merupakan Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar


WUJUD KEBUDAYAAN
8 Ide gagasan, nilai, norma
8 Aktivitas, tindakan

8 Benda hasil karya manusia

Unsur-unsur Kebudayaan
1. Religi,
2. Pengetahuan,
3. Teknologi,
4. Mata Pencaharian,
5. Organisasi Sosial,
6. Kesenian,
7. Bahasa,
8. Kuliner,
9. Style/ Mode

Regulasi Cagar Budaya
1. MO No. 19 / 1931,
2. MO No. 21 / 1934,
3. UU No.2 / 1992
4. UU No. 11 / 2010 tentang Cagar Budaya disahkan 24 Nopember tahun 2010, http://www.unesco.org/culture/natlaws/media/pdf/indonesie/ind_act11_10_clther_indorof

Definisi Cagar Budaya
(Pasal 1) UU No.11 Thn 2010
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Pelestarian  …
Upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya
(UU CB Pasal 1 angka 22)

Tujuan Pelestarian Cagar Budaya    
(Pasal 3)
a. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia
b. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya
c.Memperkuat kepribadian bangsa
d.Meningkatkan kesejahteraan rakyat 
e.Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional


    LINGKUP PELESTARIAN(Pasal 4)
1.Pelindungan,
2.Pengembangan, dan
3. Pemanfaatan.

Valuasi Cagar Budaya

Penilaian atau upaya kuantifikasi Cagar Budaya ke dalam nilai uang

Konsekuensi Nilai Cagar Budaya
*Definisi “nilai” Cagar Budaya
*CB tidak diperdagangkan di pasar komersial (private)
*Eksternalitas kegiatan dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) CB secara tidak diinginkan (dampak negatif/positif)

PP RI No.66 Tahun2015 Tentang Museum

KEBIJAKAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA INDONESIA TAHUN 2013

Kamis, 10 Agustus 2017

Meriam Mangkunegoro

Perunggu
Solo
Berangka Tahun 1727
P. 54 cm, D. 8 cm, K. 2 cm

Diperoleh tahun 1983
Koleksi Museum Nasional Indonesia

Deskripsi fisik:
Bentuk meriam ini bumbung. Terdiri dari bagian pangkal, tengah, dan ujung. Pada bagian pangkal terdapat bonggol, lubang pengapian, dan pegangan berbentuk kuda laut. Bonggol berbentuk seperti jamur merang. Pangkal dengan hiasan kelopak daun empat lembar dan tiga buah gelang menjadi satu. Diatas lubang meriam tertulis Anno 1727 diapit gelang      yang sama. Bagian tengah tedapat sebuah lambang berbentuk bulat telur, di dalamnya terdapat simbol bendera-bendera,senjata-senjata dan perisai dua buah dalam bentuk ikan dan tiga buah gelang. Bagian ujung batang dengan hiasan daun bunga. Moncong bulat dengan sulut sebuah gelang seperti pola pada meriam yang lain.

Fungsi Koleksi :
Meriam dengan ukuran kecil ini biasanya digunakan untuk upacara atau pemberian mas kawin. Dalam istana kerajaan atau kesultanan, biasanya dibunyikan pada saat upacara seperti pengangkatan atau penggantian seorang raja dan menerima tamu agung Istana.

Uraian Koleksi :

Meriam adalah senjata untuk menembak jarak jauh. Pada mulanya, meriam dibuat dari lempengan-lempengan besi yang disusun dan diikat. Dalam perkembangan selanjutnya, meriam dibuat dengan menggunakan teknik cor logam.

Selain sebagai senapan, meriam termasuk jenis senajata api yang menggunakan serbuk mesiu. Meriam pada masa itu merupakan peralatan perang yang utama yang digunakan di kapal laut, benteng, maupun pada saat pertempuran di darat. Meriam menjadi senjata andalan bangsa Eropa. Oleh karena itu, ekspedisi-ekspedisi bangsa Eropa senantiasa dilengkapi dengan senjata tersebut. Contohnya, kapal “Holandia” dan “Mautius” yang merupakan armada ekspedisi Cornelis de Houtman yang membawa 20 buah meriam (Hanna, 1988: 9).
Kekuatan angkatan perang bangsa Eropa yang ditunjang oleh peralatan perang yang memadai, seperti meriam, menyebabkan raja-raja di Indonesia berusaha untuk memiliki berbagai jenis meriam. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mempertahankan wilayahnya dari penguasaan bangsa asing.
Meriam-meriam itu diperoleh dengan cara membeli dari negara-negara pembuat meriam, dari hasil rampasan perang, dan dengan membuat sendiri. Mulai abad ke-17 dan sesudahnya, meriam telah dibuat di Indonesia. Daerah pembuatan meriam tersebut, yakni Jepara dan Surakarta. Kepandaian membuat meriam diperoleh dari bangsa Portugis. Ketika terjadi perselisihan antara VOC dengan raja-raja di Indonesia, mereka meminta bantuan senjata kepada Portugis. Portugis tidak hanya membantu menyediakan persenjataan, melainkan juga mengajarkan cara mengecor logam untuk dijadikan senjata, meriam.
Meriam Mangkunegoro ini berukuran kecil panjangnya 54 cm dengan kaliber 2 cm. Bentuk meriam semacam itu dinamakan meriam lela, yang biasanya digunakan untuk upacara dan melamar calon pengantin (meriam digunakan sebagai mas kawin); dan kematian seorang terkenal, dsb.

Ragam hias binatang biasanya menggunakan hiasan binatang yang mengandung arti atau melambangkan kekeuatan magis tertentu. Misalnya bentuk singa, naga, kuda laut, buaya dan lain-lain. Dengan menggunakan hiasan singa, naga ataupun buaya dimaksudkan agar senjata tersebut mempunyai kekuatan seperti binatang-binatang itu dan dapat menang dalam menghadapi lawan. Menurut Welken, binatang-binatang besar artinya dalam kepercayaan rakyat tidak saja di Indonesia tetapi juga di kepulauan-kepulauan yang lain di lautan Teduh Selatan maupun daerah-daerah lainnya.

Pemakaian hiasan binatang ini misalnya ditemukan pada tangkai atau pegangan meriam yang dibuat dan dibentuk seperti naga ataupun kuda laut. Gambar-gambar binatang lainnya diukir pada bagian pangkal ataupun tengah meriam. Beberapa diantaranya ada pula meriam yang secara keseluruhan dibuat dalam bentuktiruan seekor ular naga dengan hiasan yang sangat menarik. Meriam semacam ini digunakan untuk upacara ataupun pemberian mas kawin.

Mata Uang Banten


Masyarakat Banten, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah Serang dan sekitarnya menyebut Uang dengan kata Picis, sering kita mendengar mereka bilang “ weh lagi ore due picis kien” “utang picis kuh..” dsb.. bukan tanpa sebab, berikut asal mula kata Picis
berasal.

Berdasarkan hasil penelitian arkeologi tahun 1976 yang menemukan beberapa mata uang berbahan timah tipis yang dapat diidentifikasikan sebagai mata-uang logam yang bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa "Pangeran Ratu ing Banten" adalah mata uang yang dikeluarkan oleh Sultan Banten.

Hal tersebut mengacu pada simbol dan gelar bagi Sultan Banten diantaranya Maulana Muhammad yang bergelar Pangeran Ratu ing Banten yang memerintah Kesultanan Banten pada tahun 1580 sampai dengan tahun 1596. Menurut Willem Lodewyksz, pada tahun 1596 ada tiga buah pasar yang ada di Banten berfungsi sebagai pusat perdagangan lokal dan perdagangan internasional yang sangat pesat. Di antara para pedagang asing yang datang di Banten ialah orang-orang Cina, menyusul pedagang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis. Mereka membawa barang dagangan yang terdiri dari pakaian tenun yang biasa dibawa oleh pedagang Eropa lainnya (Tjandrasasmita, 1976:227).

Mata uang logam Cina yang pernah ditemukan de Houtman dan Kaizer adalah berupa uang tembaga yang disebut caixe, yang telah beredar di Banten (van Lischoten, 1910:78). Peranan mata uang picis, real dan uang chi'en yang terbuat dari tembaga, ternyata uang chi'en-lah yang lebih tinggi harganya di Banten, jika dibandingkan dengan mata uang lainnya (Rouffer, 1915:122). Mata uang Cina sebagai mata uang asing masuk pertama kali di Banten yakni pada tahun 1590, saat mana raja Cina, Hammion, membuka kembali peredaran mata uang Cina di luar negeri setelah dua puluh tahun menutup kemungkinan karena khawatir akan adanya inflasi di negaranya.

Untuk memberikan gambaran nilai sebuah mata uang, kami uraikan sebagai berikut:
Harga uang picis dapat kita lihat dalam perbandingan:
1 atak = 200 picis 1 bungkus = 10000 picis
1 peku = 1000 picis 1 keti = 100000 picis.

Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah jika dibanding harga mata uang logam lainnya (van Ansooy, 1979:37). Sebagai contoh dalam menentukan harga dari seorang budak per hari dapat disewa dan harus setor pada majikannya sebesar 1000 picis (1 peku), berikut makan 200 picis. Harga makanan untuk orang Barat per hari menghabiskan rata-rata 1 atak (Fruin Mees, 1920:44). Di Banten bagi seorang yang berani membunuh pencuri akan mendapat hadiah dari Sultan sebesar 8 peku (Keuning, 1938:888). Adapun harga seekor ayam di Mataram pada tahun 1625 rata-rata 1 peku (Macleod, 1927:289). Menurut orang Cina di Banten, dari hasil pembelian 8 karung lada dari pengunungan seharga 1 keti dan dijualnya ke pasar Karangantu seharga 4 keti, kejadian tersebut tercatat pada tahun 1596 (Commelin, 1646:76).

Harga pasaran tidak selalu stabil seperti yang diharapkan, permasalahannya ialah akibat nilai harga picis yang sulit untuk bertahan lama. Seperti terjadi pada tahun 1613, ada perubahan nilai pecco yang secara drastis terpaksa harus turun, tercatat 34 dan 35 peccoes = 1 real; ini berarti pula pengaruh uang asing yang masuk ke Banten dapat mempengaruhi stabilitas pasar di Karangantu saat itu.

Pada tahun 1618, J.P. Coen merasa tidak senang dengan turunnya nilai mata uang picis di Jawa, bahkan tercatat sejak tahun 1596 di Sumatra pun telah mengalami kemerosotan nilai tukar uang picis sampai dengan 1 : 8,500 (Mollema, 1935:211). Rupanya percaturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari kehadiran beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang pada saat itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari Jambi untuk di perjualbelikan di Banten (F. van Anrooy, 1979:40). Variabilitas jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi, memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang (kertas, logam, atau lainnya), memberikan informasi mengenai satuan nilai mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam, nilai intriksiknya adalah pada nilai logamnya (tembaga, timah, perak, suasa atau emas). Kegunaan penemuan mata uang pada berbagai situs, secara arkeologis dapat membantu 
(1) kronologi situs, 
(2) jenis mata uang yang berlaku, 
(3) batas-batas peredaran mata uang yang dimaksud, serta 
(4) satuan nilai yang ditetapkan.

Penelitian dan penggalian di Banten, ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata uang logam 
1. Banten, 
2. Belanda, 
3. Inggris, dan 
4. Cina. 

Mata uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm, terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan 242 keping uang Banten. Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie. Mata uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 - 1816. Dari lubang- lubang ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC (Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi. Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4 bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan. Dari lubang ekskavasi Surasowan ditemukan 6 keping mata uang Inggris.

Pada salah satu sisi mata uang Cina terdapat tulisan Cina yaitu: YUNG CHENG T'UNG PAO = Coinage of Stable Peace, yang berarti pembuatan mata uang untuk kestabilan dan perdamaian. Sedang pada tulisan sebaliknya diketahui sebagai huruf Manchu yang belum dapat dikenali artinya. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2,25-2,80 cm, tebal 0,10-0,18 cm dan diameter lubang 0,45-0,60 cm. Jenis ini ditemukan di lubang ekskavasi Surosowan sebanyak 25 keping. Penelitian sebaran mata uang logam di Banten diarahkan pada ruang-ruang di dalam dan di luar benteng. Dari 437 keping mata uang logam yang ditemukan di eksekavasi, 92 ditemukan di luar benteng dan 345 dari dalam benteng Surosowan. Homogenitas ruang penelitian (hanya di sekitar Surosowan), serta jumlah koleksi hasil penelitian yang sangat tidak seimbang dengan aktivitas ekonomi Banten sebagai pusat politik, ekonomi dan perdagangan, berdampak pada terbatasnya lingkup penafsiran dari kehadiran mata uang logam sebagai data arkeologi di Banten

Semua tulisan disadur dengan beberapa suntingan redaksional yang berasal dari :
Sumber: perpustakaanhalwany.blogspot.com

Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

   Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama merupakan salah satu unit teknis dari Seksi Pelestarian, Pengembangan dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama berada di Desa Banten, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.
A. Sejarah Singkat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia mulai melakukan penelitian di situs Banten Lama tahun 1976. Penelitian tersebut bersamaan dengan kegiatan pemugaran. Dalam kegiatan pemugaran, dibutuhkan pula bangunan yang berfungsi untuk menyelamatkan benda cagar budaya sebagai akibat dari semakin banyaknya pencurian, perusakan, dan penemuan benda cagar budaya oleh masyarakat. Semula, benda-benda cagar budaya bergerak (koleksi) hasil penggalian maupun sumbangan masyarakat di simpan dalam gedung asrama yang letaknya di selatan bangunan Tiyamah, selatan Masjid Agung Banten. Kegiatan penelitian kepurbakalaan yang semakin meningkat, menyebabkan makin kuatnya kebutuhan sebuah bangunan sebagai tempat penyimpanan hasil temuan yang sekaligus berfungsi sebagai pusat informasi mengenai situs Banten Lama. Jumlah benda cagar budaya bergerak yang semakin bertambah, baik yang berasal dari penemuan masyarakat maupun penelitian, akhirnya memerlukan sistem penataan pameran /display dan pembuatan label informasi pada masing-masing benda.
Dalam perkembangannya, pusat informasi tersebut akhirnya diubah fungsinya menjadi museum situs kepurbakalaan. Pembangunan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama (MSKBL) dilakukan sejak tahun 1983 oleh Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah TK.II Kabupaten Serang dan masyarakat Banten. MSKBL diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Harjati Soebadio pada tanggal 15 Juli 1985.

B. Luas Lahan dan Bangunan
Museum dibangun di atas tanah seluas 10.000 m2 dengan luas bangunan 778 m2.

C. Koleksi
Koleksi dipamerkan di dalam ruangan dan di luar ruangan.  Koleksi yang dipamerkan di museum ini terdiri dari benda-benda hasil penggalian dari situs-situs di Kawasan Banten Lama yang merupakan peninggalan Kerajaan Banten. Kelompok koleksi, yakni Mata Uang,  Keramik, Etnografi dan Arkeologi.
Ø Numismatik : Koin Banten, Koin VOC, Koin Cina, Uridab (Uang Kertas Darurat Daerah Banten).
Ø Keramik : Keramik Lokal (Gerabah), Keramik Asing (keramik-keramik dari luar nusantara seperti Cina, Jepang, dan Eropa)
Ø Etnografi: Kesenian Debus, Alat Rumah Tangga dan Perdagangan Berbahan Kuningan, Senjata-senjata
Ø Arkeologi : Arca Nandi, Batu-batu Nisan, dan Meriam Ki Amuk

Pentingnya Keluarga dalam membangun Masyarakat dan Problematikanya Keluarga merupakan lingkungan awal dan utama dalam pelaksanaan proses sos...